Jumat, 16 Januari 2009

Hanya Tinggal Kenangan*)

Oleh : EMBUN HAYANI

Kupandangi photo yang masih kupegang di tangan kiriku. Wajah yang tak mungkin dapat aku lupakan, senantiasa tergambar jelas di benakku, setiap kali aku pandang photo itu. Kenangan suka dan duka yang kerap kali hadir mengisi hari-hariku, begitu jelas melekat.

“ Dia “, orang yang ada di photo itu sangat berarti bagiku. Keberanianku melangkah, dan salah satu motivasi hidupku adalah dia. Namun…, rasa sesal senantiasa menghantui jikalau aku teringat peristiwa itu. Peristiwa dimana aku harus kehilangan dia untuk selama-lamanya.

Kuhapus butiran bening yang menetes membasahi kedua belah pipiku, tanpa aku sadari. Ingin rasanya diri ini menjerit memanggil-manggilnya, supaya ia kembali bersamaku, mengisi hari-hariku lagi. Namun itu tak mungkin, yang telah pergi tak mungkin dapat kembali.

“ Ya Ghofur, ampuni hamba yang penuh dosa ini !. Ampunkanlah hamba yang belum sempat membahagiakannya. Bahagiakanlah ia disana ! ”, batinku lirih.

Terdengar pintu kamar di ketuk seseorang. Tanpa kupersilahkan masuk, orang tersebut sudah masuk saja. Dan kebiasaan itu jelas saja sudah tak kuhiraukan, karena aku telah faham betul itu adalah kebiasaan si-cantik dan si-imut “ Nadia ” sahabat kentalku sejak kecil. Ya …, Nadia adalah sahabat yang terbaik bagiku. Dia sudah seperti saudara bagiku.

Sejak kecil Nadia ditinggal pergi kedua orang tuanya. Dan ayahku yang merupakan sahabat ayahnya, dengan tangan terbuka, menjadi pengganti orang tua Nadia yang telah pergi dan tak akan pernah kembali. Sejak saat itulah ia tinggal di sini. Dirumah ini, terlebih setelah ayah tiada.

Segera ku letakkan lagi photo itu di tempatnya semula. Diatas meja belajarku.
“ Kau baik-baik sajakan Ranaa ? “, tanyanya padaku.

Aku tersenyum, ia menghela dan menarik nafas tak panjang.
“ Kuharap kau baik-baik saja. Aku tahu, semua itu sulit bagimu untuk menerima kenyataan. Aku faham mengapa kau begitu, karena sebelum dirimu, aku juga sudah mengalaminya deluan. Kau harus kuat ! Aku tak ingin melihatmu lemah ! Semangatlah wahai sahabatku ! ”.

Kupandangi wajahnya dengan seksama.

“ Kau beruntung Nadia. Meski kau ditinggal pergi kedua orang tuamu sejak kau berusia 10 tahun, setidaknya kau pernah merasakan kebahagiaan keluarga yang sempurna. Kau tahu bagaimana wajah ibumu, sementara aku ? Jangankan melihat wajahnya ! jangankan bertemu dengannya ! membayangkan siapa diapun aku mampu, karena dari dulu aku hanya mengenal sesosok ayah sekaligus ibu hanya dari ayahku yang kini telah tiada ”, batinku terenyuh.

“ Ayolah Ranaa…, kau harus semangat ! apa kau terus menyesali nasib, tidakkan ?? “, tanyanya sembari duduk tepat disampingku.

“ Kau tahu ? Aku sangat benci dia ! Dia yang membuatku menjadi manusia bersalah atas kepergian ayah. Dia kejam !! Kenapa aku harus lahir dari rahim orang seperti dia ? Kenapa ? ”.

Nadia Menggelengkan kepala.
“ Kenapa kau begitu ? Bagaimanapun ia tetap ibumu. Sebaik dan sejahat apapun ia, ia tetap ibumu “.
“ Kau tak faham…!! ”.
“ Aku faham “.
“ Tidak ! kau tak akan pernah faham apa yang kurasakan karena kau tak pernah mengalaminya. Kau tak faham…”, tiba-tiba air mataku menetes lagi.

Disandarkan kepalaku di pundaknya. Dibiarkannya aku meluapkan segala rasa yang berkecamuk di dalam dada. Benci, sedih, takut, dan bingung bercampur menjadi satu tak tahu bagaimana cara memisahkannya. Benci pada sosok yang bernama “ Ibu “. Wanita itu yang begitu tega meninggalkan ayah dan aku hanya karena “ harta ”, yang karenanya ayah mengubur dalam-dalam kenangan pahit itu, tanpa ingin berbagi termasuk padaku. Wanita itu…, yang membuatku sempat berburuk sangka pada ayah. Menuduh ayah yang bukan-bukan, karena keingin tahuanku tentang “ Dia ”. Hingga peristiwa itu, aku harus kehilangan ayah, gara-gara wanita itu, rasa sesal itu senantiasa menghantui.

Aku terus saja mengutuk wanita itu, bila aku ingat ayah. Lebih baik aku tak mengetahui kisah pahit tersebut. Aku telah melukai perasaan ayah.

Aku sedih harus kehilangan dia, yang lebih ,menyedihkan lagi ia harus pergi dengan cara yang mengenaskan. Ia rala mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan aku, sewaktu aku mencoba mengakhiri hidupku karena rasa keputusasaanku ingin mengetahui “Ada apa dengan Ibu ? ” Ayah terjatuh dari lantai 3, gedung sekolahku, sewaktu hendak menarik tanganku.

Ayah sempat dirawat dirumah sakit. Tapi apa daya, semua harus berakhir tragis. Namun sebelumnya aku sempat mendengar kisah pahit itu dari penuturan ayah sewaktu ayah mencoba menyelamatkanku. Saat itu, kaki kiriku tergelincir. Jika Allah tak menggerakkan tangan ayah untuk menarik tangan kananku, mungkin aku telah tiada, namun mungkin itu lebih baik daripada aku kehilangan dia seperti sekarang ini.

Ditambah rasa takut akan keadaanku sekarang ini. Takut akan dosa-dosaku. Apa yang akan kupertanggung jawabkan pada-Nya, jika saat itu tiba ? Bayangan itu senantiasa menjelma dalam tidurku. Terlebih setelah dokter memvonisku “ KANKER OTAK ” yang kecil kemungkinan untuk sembuh.

Bingung membayangkan apa yang akan terjadi pada Nadia setelah kepergianku.
“ Oh Tuhan…, mengapa ini harus terjadi ? ”, batinku selalu bertanya.
Kurebahkan tubuhku diranjang yang berlapiskan seprai pink bermotif mawar merah. Kubiarkan butiran bening itu jatuh dan ikut serta membasahi bantal yang menjadi sandaran kelapaku sekarang.

“ Sudahlah Ranaa ! Lebih baik sekarang kau temui susilo di ruang tamu ! Dari tadi ia menunggumu. Kasihan tuh dia seperti kambing congek nunggui kamu yang enggak keluar-keluar dari peraduan ” .

“ Nadia, please ! Suruh pulang saja dia ! Aku udah enggak ada hubungan apapun dengannya, jadi untuk apa lagi bertemu dengannya ?”.

“ Keputusanmu sudah betul untuk tak berpacaran lagi dengannya ! Tapi aku harap itu karena hidayah Allah. Bukan karena…”.

Belum sempat Nadia melanjutkan perkataannya, langsung aku memotong ucapannya.
“ Tenang saja ! Insya Allah karena hidayah Allah, bukan karena penyakit yang kuderita. Dan kau tak perlu merasa bersalah begitu !”.
“ Maaf ya…!”.
“ Sekarang kau harus mendengar dan melaksanakan perintahku. Temui dia.

Mungkin dia ada perlu penting denganmu. Karena itu tadi yang ia katakana padaku. Makanya aku perbolehkan ia masuk. Oke !”. Sembari menghapus air mataku dan menuntunku menemui Susilo.

“ Langsung saja ! apa maksud kedatanganmu ke sini ?”, tanyaku dengan tegas.
Ia bukan menjawab malah tersenyum. Senyuman yang begitu khas dan amat mengesankan setiap aku bertemu dengannya. Tapi itu dulu, dimasa laluku. Kini senyuman itu adalah sesuatu yang sangat menjengkelkan bagiku. Dan yang lebih menjengkelkan lagi ketika dia memandangiku secata seksama dari atas hingga ujung kaki.

Meski begitu, jika aku berkata jujur, jauh dilubuk hati ini, perasaan itu masih sama. Bagiku cukup ia yang pertama dan terakhir. Walau aku sadar, aku tak mungkin memilikinya. Hidupku tak mungkin lama lagi.

“ Kau masih tetap cantik…, Ranaa ”, pujinya.
“Meski kau telah berubahm, kau tetap sama, busana yang kau kenakan sekarang tak membuatmu menjadi lebih jelek. Bahkan semakin cantik ”.

Dia masih terus memujiku dan aku masih tetap diam.
“ Bagiku kau adalah…”.
Belum sempat ia melanjutkan ucapannya, aku sudah menyela terlebih dahulu.
“ Cukup Susilo !! Kau datang kesini bukan sekedar untuk memujiku kan ?”.
Lagi-lagi ia tersenyum.

“ Simpan saja senyummu itu ! aku enggak butuh !” dengan nada ketus.
“ Oke…,oke ! memang ada hal penting yang ingin aku bicarakan padamu ”.
“ Maksimal 3 menit !!”, jawabku tegas.

“ Baiklah ! Langsung saja, perlu kau ketahui Ranaa, meski kau memutuskan kita untuk berpisah, perasaanku tetap sama. Sampai saat ini kaulah satu-satunya wanita yang ada dihatiku. Bahkan sampai nanti. Tapi apa daya, takdir berkehendak lain ! Aku tak kuasa akan hal itu. Aku begitu menyayangimu, aku…….”.

“ Stop !!”, bentakku.
“ Ranaa, please ! Aku belum selesai bicara ”.
“ Sudah kukatakan langsung saja ! Maksimal 3 menit, kalau hanya itu yang ingin kau kata-kan lebih baik kau…., kau…”.

“ Oke, sabar ya ! Tenang saja aku akan pergi dari kehidupanmu untuk selamanya agar kau senang. Tapi ijinkan aku untuk mengatakan hal ini padamu. Aku prihatin atas apa yang kau derita ! Semoga oprasimu berjalan lancar nantinya! agar kau…, agar kau…”.

“ Cukup ! Apa sebenarnya yang ingin kau katakan ?, dari tadi kau hanya bertele-tele. Darimana kau tahu hal itu ?”, tanyaku selidik.

“ Maaf ! tanpa sengaja aku mendengarkan pembicaraan kau dan Nadia sewaktu kau minta “ putus ”. Karena aku sangat menyayangimu apa adanya. Tapi aku sudah terlanjur…”.

“ Terlanjur apa ?”.
Ia bukan menjawab malah mengambil sesuatu dari tasnya. Benda itu seperti surat undangan. Hatiku mulai menerka-nerka, jangan-jangan itu undangan pernikahannya, tapi dengan siapa…?. Jika itu benar, aku tak tahu harus berbuat apa, yang kutahu pasti aku sangat kehilangan.

Dugaan itu terjawab akhirnya. Setelah ia menyodorkannya padaku, ternyata benar, sebuah undangan pernikahan.
Langsung saja kuambil dan kubuka undangan tersebut, betapa terkejutnya diriku melihat nama yang terpampang di sana.
Sania
&
Susilo

Oh Tuhan apa maksud semua ini ? Sania ? Wanita itu…? Bukankah kemarin ia baru saja mengatakan ikut prihatin atas apa yang terjadi antara aku dan Susilo ?.

“ Aku tahu itu sulit untuk kau terima. Seminggu setelah peristiwa kau meminta putus. Saat itu aku belum tahu apa yang kau derita. Akhirnya dengan berat hati aku terima perjodohan itu, yang memang sudah lama direncanakan bunda dan keluarganya. Tapi perlu kau tahu, perasaanku takkan pernah berubah sampai kapanpun ”.

“ Itu urusanmu. Kuharap kau tinggalkan aku sekarang juga ! Dan tolong tepati janjimu !”.

“ Oke, aku akan pergi, jika itu membuatmu bahagia. Tolong kau datang ke acara pernikahanku. Jika kau tak datang, aku batalkan saja !”.

Aku hanya diam. Namun didalam diamku ingin rasanya aku menjerit. Tapi tak mungkin, karena aku tak ingin terlihat cengeng di depannya.
“ Aku serius !, dan Insya Allah aku akan menemani operasimu. Kuharap kau tak menolak. Kalau begitu aku permisi. Assalamu’alaikum…”.

Belum sempat terjawab salamnya, dia sudah berlalu pergi, meninggalkanku sendiri dalam keterpakuan. Tanpa sadar butiran itu kembali menetes, membasahi pipiku. Kini benteng hatiku tak dapat aku pertahankan lagi, butiran bening terus mengalis membasahi pipiku seiring kepergiannya. Biarlah, mungkin memang ini yang terbaik.

* * *

Hari itu datang juga. Pertarungan antara hidup dan mati akan segera dimulai. Nadia terus saja menyemangatiku, bagitu juga Susilo, ternyata ia menepati janjinya untuk menemaniku. Kulihat bola matanya berkaca-kaca.

Aku tahu, mungkin aku akan kalah. Bukannya aku tak percaya adanya Allah, tapi aku sudah pasrah, jikalau memang Allah hendak mengambil nyawaku. Penyakit yang aku derita ini sudah terlambat untuk disembuhkan.

Lima menit kemudian, aku sudah berada di satu ruangan yang diatas pintunya bertuliskan “ Ruang Operasi ”, jika dilihat dari koridor lorong rumah sakit. Berbagai peralatan untuk operasi telah dipersiapkan. Seorang dokter dengan ditemani beberapa perawat masih sempat aku lihat, sebelum salah seorang dari mereka menyuntikkan obat bius padaku.

Setelah itu, aku tak tahu lagi apa yang terjadi ? Senua terlihat hitam tanpa cahaya sedikitpun. Dan yang lebih membingungkan, terasa ada sesuatu yang hilang, sewaktu sesuatu menyentuh ubun-ubun dikepala. Gelap….! Tanpa ada cahaya sedikitpun !!!.


* * *
*) Cerpen ini di ajukan untuk mengikuti Sayembara Corat – Coret yang di adakan oleh BTM3 UNIMED 2008.

Seja o primeiro a comentar

Apa perbedaan antara hambatan dan kesempatan? Perbedaannya terletak pada sikap ita dalam memandangnya. Selalu ada kesulitan dalam setiap kesempatan: dan selalu ada kesempatan dalam setiap kesulitan.(J. Sidlow Baxter)

Fauzi Blog's © 2008 Template by Dicas Blogger.

TOPO